Haji Misbach (2)



Pergerakan Islam

Pertanyaan mendalamnya, kenapa akhirnya Haji Misbach memilih untuk menjadi seorang muslim yang komunis? Perbedaan dinamika sosial Islam di Yogya dan Surakarta masa itu menjadi penyebab utamanya.

Seperti diketahui, di Yogya, Muhammadiyah yang didirakan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 di segera menjadi sentral kegiatan kaum muslimin yang saleh yang kebanyakan berlatar belakang keluarga pegawai keagamaan Sultan. Ayah Dahlan adalah chatib amin Masjid Agung dan ibunya putri penghulu (pegawai keagamaan kesultanan) di Yogya. Para penganjur Muhammadiyah umumnya anak-anak pegawai keagamaan.


Kala itu birokrat keagamaan umumnya adalah alat negara sehingga wewenang keagamaannya tidak berasal dari kedalaman pengetahuan tentang Islam tetapi karena jabatannya. Meskipun mereka berhaji dan belajar Islam, masih kalah wibawa dibandingkan para kiai yang pesantrennya bebas dari negara. Kendati demikian, reformisme Muhammadiyah berhasil menyatukan umat Islam yang terpecah-pecah. 

Tablig-tablignya, kajian ayat yang dijelaskan dengan membacakan dan menjelaskan maknanya di masjid-masjid, pendirian lembaga pendidikan Islam, membangunkan keterlenaan umat Islam. Mereka tumbuh menjadi pesaing tangguh misionaris Kristen dan aktivis sekolah-sekolah bumiputera yang didirikan pemerintah.

Nah, lain halnya dengan di Surakarta, kala itu belum ada pengaruh sekuat Dahlan dan Muhammadiyah. Ini karena di Surakarta sudah ada sekolah agama modern pertama di Jawa, Madrasah Mamba'ul Ulum yang didirikan patih R. Adipati Sosrodiningrat (1906). Selain itu, Sarekat Islam (SI) juga sudah lebih dulu berkiprah sebagai wadah aktivis pergerakan Islam. 

Di Surakarta, pegawai keagamaan yang progresif, kiai, guru-guru Al-Quran, dan para pedagang batik mempunyai forum yang berwibawa, Medan Moeslimin. Di situlah pendapat mereka yang kerap berbeda satu sama lain tersalur. Kelompok ini menyebut diri "kaum muda Islam".

Perbedaan mencoloknnya, di Yogya, gerakan Islam tidak hanya reformis, tapi juga modernis. Sementara di Surakarta, pergerakan islamnya lebih revolusioner. Tidak hanya berdiri di atas mimbar masjid saja. Pasalnya, kegiatan keislaman di Surakarta banyak dipengaruhi kiai progresif, seperti Kiai Arfah dan KH Muhammad Adnan.

Saking derasnya demokrasi pemikiran, perpecahan kelompok Islam di Surakarta tak bisa terelakkan. Berawal dari artikel Djojosoediro di surat kabar Djawi Hisworo, yang mana pemimpin redaksinya adalah Martodharsono. Tulisan tersebut dianggap menyingung dan dianggap liberal oleh kalangan ortodoks.


Selanjutnya: Haji Misbach (3)

 

0 komentar:

Post a Comment